Langsung ke konten utama

SONORENSIN: BAKTERIOSIN JENIS BARU YANG MEMILIKI POTENSI SEBAGAI AGEN ANTI-BIOFILM DAN PRESERVASI MAKANAN

Pengaruh Penambahan Bubuk Cabai Merah terhadap Densitas Weisella koreensis selama Proses Fermentasi Kimchi

Alifia Issabella Mulyawati
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya
Malang

ABSTRAK

Munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik mengharuskan adanya eksplorasi dari agen yang dapat menindaklanjutinya seperti peptida ribosomal dari bakteri yang dikenal sebagai bakteriosin. Biofilm yang merupakan komunitas mikroba yang dapat menyebabkan infeksi kronis dapat membentuk lingkungan yang meningkatkan sifat resisten terhadap antimikroba. Bakteri dalam biofilm 1000 kali lebih resisten terhadap antibiotik daripada bakteri pada kondisi bebas atau planktonik. Penelitian ini memprediksi adanya sonorensin yang termasuk dalam subfamily heterocyloanthracin dari bakteriosin telah ditemukan efektif dalam membunuh sel dorman pada bakteri Gram negatif maupun positif. Sonorensin menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap biofilm dari Staphylococcus aureus. Pengamatan menggunakan mikroskop fluorescence dan elektron menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan disebabkan adanya peningkatan permeabilitas membran. Pembuatan film dengan konsentrasi rendah polyethylene untuk melapisi sonorensin ditemukan secara efektif mampu mengendalikan pertumbuhan dari adanya bakteri penyebab kerusakan pangan seperti Listeria monocytogenes dan S. aureus. Efek biopreservatif dari sonorensin ditunjukkan dengan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri peyebab kerusakan makanan pada daging ayam dan tomat sehngga dapat disimpulkan bahwa sonorensin dapat digunakan sebagai alternative antibiotik maupun preservatif pangan.
Kata kunci: antibiotik, biofilm, preservasi pangan, resisten, sonorensin






BAB I
PENDAHULUAN

            Bakteri di alam biasanya membentuk asosiasi atau komunitas yang bersifat dinamik dan berada pada permukaan suatu substrat yang disebut dengan biofilm, biofilm tersebut dapat memproduksi Extracellular Polymeric Substance (EPS) dan menyebabkan masalah yang serius dalam segi klinis karena cenderung bersifat resisten terhadap antibiotik (1). Bakteri dapat memproduksi bioaktif berupa peptida atau protein yang disebut bakteriosin yang dapat dijadikan sebagai antibiotik untuk mengatasi adanya bakteri yang bersifat resisten terhadap banyak obat termasuk bakteri yang dapat membentuk biofilm. Bakteriosin dapat menjadi antibiotik dengan cara mengganggu pembentukan membran sel bakteri, menghambat pembentukan protein fungsional, berikatan dengan DNA sel bakteri dan detoksifikasi terhadap polisakarida pada sel bakteri (7).
            Penambahan bahan kimia pada makanan dengan tujuan preservasi atau pengawetan pangan merupakan cara yang telah dilakukan oleh banyak industri pangan, namun dianggap tidak aman apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu dilakukan eksplorasi bahan lain yang aman untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan (10). Lebih dari 50 tahun Lactococcus lactis memproduksi nisin untuk bahan pengawet makanan yang aman dan efektif menghambat bakteri penyebab kerusakan makanan dan keracunan makanan (11). Terdapat dua cara yang umumnya digunakan untuk melakukan pengemasan bakteriosin sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memperpanjang fase lag dan mengurangi laju pertumbuhan bakteri dalam hal untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas produk pangan (12). Cara yang pertama yaitu menggabungkan bakteriosin secara langsung menjadi polimer dan cara kedua yaitu menggabungkan bakteriosin menjadi sebuah lapisan tipis berupa film yang dkemas dengan melapisi bakteriosin dengan permukaan polimer (13).
            Penemuan terbaru menunjukkan bahwa telah dapat dilakukan isolasi, purifikasi, dan karakterisasi dan sonorensin yaitu bakteriosin yang termasuk dalam subfamily heterocycloanthracin yang berasal dari isolat Bacillus sonorensis MT93 (16,17). Sonorensin juga dilaporkan memiliki potensi sebagai biopreservasi dalam produk buah dan memperpanjang umur simpan dari susu pasteurisasi (17). Tujuan dari penelitian lanjutan ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari sonorensin sebagai agen anti-biofilm dan preservasi pangan khususnya terhadap bakteri pembentuk biofilm serta mekanisme kerja dari sonorensin tersebut.




BAB II
METODE

2.1 Reagen dan Media
            Nisin dan Histopaque-1077 diperoleh dari Sigma-Aldrich Inc dan microtitre plates diperoleh dari Nunc. BD vacutainer diperoleh dari BD biosciences. Reagen-reagen dan komponen media digunakan untuk menganalisis tingkat kemurnian bahan dapat diperoleh dari India. Bakteri Bacillus sonorensis MT93 diisolasi dari Parangipetai, India (16). Pengukuran tingkat MIC dari sonorensin diujikan terhadap bakteri E. coli, S. aureus, dan L. monocytogenes (16).

2.3 Uji Perlekatan Biofilm dan Penghambatan terhadap Pembentukan Biofilm
            Uji dilakukan dengan cara pertama menggunakan kultur S. aureus dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran yang terdapat pada cawan petri dengan penambahan sonorensin dengan konsentrasi berbeda (tiga kali ulangan). Cawan petri diinkubasi pada suhu 37 OC selama 4 jam dan 24 jam untuk menguji tingkat perlekatan biofim dan penghambatan terhadap pembentukan biofilm secara berurutan. Kontrol positif menggunakan S. aureus dalam media Brain hear infusion (BHI) sucrose tanpa sonorensin. Setelah diinkubasi, sumuran-sumuran tersebut dicuci menggunakan PBS dan konsentrasi atau densitas sel diukur menggunakan OD595 nm (34).
            Uji reduksi XTT selanjutnya dilakukan untuk mengukur aktivitas metabolik sehingga dapat dilakukan estimasi jumlah sel. Sumuran yang telah dicuci menggunakan PBS selanjutnya ditambahkan 20 μl XTT (500 mg/ml) dan diinkubasi kembali pada suhu 37 OC selama 2 jam. Warna yang terbentuk diukur pada 495 nm menggunakan plate reader.

2.4 SEM
            Aktivitas anti-biofilm pada sonorensin juga diamati menggunakan mikroskop. Biofilm dari S. aureus ditutup menggunakan cover slip yang dilapisi dengan L-lysine. Selama penambahan sonorensin sebanyak 50μg/ml, cover slip diinkubasi selama 24 jam. Sampel selanjutnya difiksasi menggunakan fiksatif Karnovsky pada suhu 4 OC selama 2 jam, selanjutnya dicuci menggunakan larutan penyangga fosfat, didehidrasi menggunakan etanol berseri dan terakhir menggunakan alcohol tert-butyl. Selanjutnya, cover slip dicelupkan dalam alcohol tert-butyl dan dibiarkan pada suhu -20 OC dan dilanjutkan dengan perlakuan freeze drying dan pelapisan menggunakan platinum. Sampel kemudian diamati menggunakan alat Zeiss EVO 40 (Ukraina).

2.5 Efektivitas dari Sonorensin terhadap Bakteri
            Staphylococcus aureus dan E. coli ditumbuhkan pada 50 ml media LB pada suhu 37 OC, 200 rpm, selama tujuh hari (23). Isolat berumur tujuh hari tersebut selanjutnya disentrifugasi dan dicuci sebanyak dua kali menggunakan Physiological Buffered Saline (PBS; pH 7,2) dan dilanjutkan diresuspensi menggunakan larutan yang sama dan diinkubasi pada suhu 37 OC, 200 rpm, selama 7 hari. Viabilitas sel dihitung dengan satuan Colony-forming units (CFUs) setiap 24 jam. Kultur menunjukkan adanya penurunan viabilitas sel pada 4 hari awal dan tetap konstan pada 2,18 x 105 dan 4.2 x 106 CFU/ml terhadap S. aureus dan E. coli secara berurutan. Sel setelah inkubasi selama empat hari dianggap sedang dalam fase dormansi setelah diuji dengan memberikan perlakuan selama semalam menggunakan ampicillin dengan dosis lethal yaitu 2 mg/ml dan dengan dibandingkat dengan kurva pertumbuhan pada saat fase vegetatif dan selanjutnya dijadikan sebagai stok sel yang tidak tumbuh kembali. Peremajaan kultur selanjutnya dilakukan menggunakan media LB sebanyak 200 μl dalam 96 sumuran cawan petri dan diukur pada OD600 nm.

2.6 Uji Antimikrobal terhadap Sel sel dorman
            Proses persiapan dilakukan dengan menggunakan agen antimikroba seperti ampicillin, nisin dan sonorensin pada konsentrasi antara 50 μg/ml - 200 μg/ml dan ditambahkan ke dalam suspense sel bakteri 100 μl baik S. aureus maupun E. coli. Sel diinkubasi pada suhu 37 OC, 200 rpm, selama semalam dan selanjutnya dicuci dengan PBS untuk menghilangkan adanya agen antimikroba yang berlebih dan dimasukkan dalam cawan berisi media BHI agar dengan tiga kali ulangan. Sampel uji yang tidak diberikan perlakuan digunakan sebagai kontrol dan diproses dengan cara yang sama.

2.7 Efek EDTA terhadap Aktivitas Sonorensin
            Adanya efek dari EDTA dalam aktivitas sonorensin terhadap E. coli diuji dengan menambahkan 20 mM EDTA (25). Sonorensin, 20 mM EDTA, dan larutan penyangga, dan sonorensin yang dikombinasikan dengan 20 mM EDTA dilakukan untuk menguji aktivitas antimikroba.

2.8 Uji Aktivitas Haemolisis
            Aktivitas haemolisis diukur menggunakan sel darah merah manusia (RBCs) (36) dan protocol yang digunakan tersebut sudah disetujui oleh Komisi Etik dari Institusi peneliti. Pengukuran adanya lisis dilakukan dengan mensuspensikan RBC’s dalam 1 % Triton X-100 (37).

2.9 Kerusakan Membran pada Sel Bakteri
            Permeabilisasi membran sitoplasma oleh sonorensin dan nisin diuji menggunakan ONPG dan mengukur aktivitas  β-galactosidase di dalam sel (38). Hidrolisis dari ONPG menjadi O-nitrophenol diukur pada 405 nm dengan menggunakan microplate reader (Biotek, USA).
Pengujian menggunakan Flow cytometry dilakukan dengan cara pertama mempersiapkan S. aureus pada fase pertengahan eksponensial dan dicuci sebanyak tiga kali menggunakan larutan PBS dan diresuspensi pada konsentrasi 1x106 CFU/ml pada pelarut yang sama. Selanjutnya dilakukan penambahan sonorensin dan nisin sebanyak 50 μg/ml dan diinkubasi pada suhu 37 OC selama 1 jam. Campuran tersebut selanjutnya diinkubasi menggunakan larutan PI selama 30 menit pada suhu 4 OC dalam kondisi gelap. Kontrol negatif menggunakan larutan PBS. Flow cytometry dilakukan menggunakan Accuri C6 Flow Cytometer in FL2 channel dengan masing-masing sampel sebanyak 104 sel untuk dianalisis. Data dianalisis menggunakan aplikasi C Flow Plus.

2.10 Preparasi Antimikroba Menggunakan Polyethylene Film
            Sonorensin dan nisin dilapisi dengan LDPE. LDPE tersebut dibuat dari penambahan 2 g metil selulosa ke dalam 10 ml sonorensin dan nisin secara terpisah kemudian dihomogenasi pada 16.000 rpm selama 2 menit dalam homogenizer. Kemudian ditambahkan 10 ml etanol dan 4 ml polyethylene glycol dan dihomogenkan kembali selama 5 menit. Lapisan LDPE selanjutnya difiksasi pada glass plates dan disiapkan campuran sonorensin dan nisin secara terpisah untuk diaplikasikan dengan film tersebut. Selanjutnya cawan tersebut dikeringkan pada suhu 37 OC elama 2 jam dan selanjutnya LDPE dilepas dari cawan dan dilakukan analisis aktivitas antimikroba dengan cara meletakkan LDPE tersebut pada media BHI soft agar dan dispread dengan isolat indikator S. aureus. Selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu 30 OC selama semalam dan diamati ada tidaknya zona hambat yang terbentuk di sekitar film.

2.11 Aktivitas Antimikroba dari Sonorensin yang Dilapisi Film selama Penyimpanan Produk Daging
            Film yang telah dikembangkan dalam bentuk kemasan akan diuji untuk mengendalikan pertumbuhan L. monocytogenes dan S. aureus pada proses penyimpanan produk daging. Daging yang digunakan adalah potongan daging ayam superfisial yang diberikan tambahan suspense L. monocytogenes dan S. aureus 1,5 x 106 CFU/ml dan selanjutnya dikemas menggunakan lapisan film yang aktif dan disimpan pada suhu 4 OC. Setelah batas waktu penyimpanan, potongan ayam diamati ada tidaknya pertumbuhan bakteri secara langsung dan bau tidak sedap. Selain itu, diujikan juga menggunakan bahan berupa tomat segar yang dilapisi menggunakan lapisan film yang aktif dan disimpan pada suhu 4 OC untuk selanjutnya pada kurun waktu yang telah ditentukan dilakukan pengamatan yang sama.
            Semua rangkaian percobaan dilakukan dalam tiga kali ulangan dan tiga kali percobaan independen atau bebas. Hasilnya disajikan sebagai rata-rata ± standar deviasi. Signifikansi statistic dari perbedaan antara kontrol dan sampel uji ditentukan menggunakan uji ANOVA dan nilai p < 0,005.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

            Sonorensin dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan hasilnya dipengaruhi oleh konsentrasi yang digunakan (Gambar 1a.), selain itu juga dapat menghambat proses pembentukan biofilm S. aureus setelah 24 jam yang sama juga tingkatnya dipengaruhi konsentrasi yang diberikan (Gambar 1b). Hasil dari pengamatan langsungmenggunakan mikroskop SEM untuk mengetahui efek dari sonorensin terhadap biofilm S. aureus dapat dilihat adanya jumlah densitas sel yang berkurang sehingga koloni terlihat terpisah secara individu (Gambar 2). Sonorensin dapat membunuh sel yang dalam fase dorman pada E. coli maupun S. aureus  yang sama efektifnya apabila dibandingkan dengan nisin. Adanya kombinasi sonorensin dengan 20 mM EDTA juga dapat meningkatkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri uji baik bakteri dalam fase sel vegetatif maupun dorman. Sonorensin pada konsentrasi tertentu dapat menghancurkan sel vegetatif maupun sel dorman pada E. coli dan S. aureus namun tidak berdampak haemoliss terhadap sel darah merah (RBCs).
            Mekanisme kerja dari bacterisidal atau sonorensin adalah dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sitoplasma sel. Apabila membran sitoplasma tersebut permeabel maka ortho-Nitrophenyl--β-galactoside (ONPG) dapat masuk ke dalam sitoplasma dan akan didegradasi oleh β-galactosidase sehingga menghaslkan O-nitrophenol yang ditunjukkan pada absorbansi 405 nm (18). Sonorensin menginduksi adanya peningkatan permeabilitas dari  membran sitoplasma S. aureus sama halnya dengan nisin pada konsentrasi yang sama, sehingga dapat dinyatakan bahwa sonorensin dapat melakukan permeabilisasi membran sitoplasma S. aureus. Hasil uji menggunakan Flow cytometer didapatkan bahwa adanya penambahan sonorensin dapat meningkatkan PI fluorescence pada sel bakteri S. aureus dan hasilnya menunjukkan bahwa sonorensin dapat menghancurkan integritas membran sel S. aureus lebih efektif apabila dibandingkan dengan nisin.

            Densitas LDPE yang rendah untuk melapisi sonorensin dan nisin menghasilkan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan S. aureus. Sementara itu, hasil uji terhadap perusakan makanan pada daging ayam dan tomat menghasilkan setelah inkubasi selama 4 dan 7 hari secara berurutan pada suhu 4 OC (Gambar 8) menunjukkan bahwa tidak terdapat tanda-tanda terjadi kerusakan pada daging maupun tomat yang dikemas dengan sonorensin dan nisin bahkan sampai 15 hari penyimpanan dalam kondisi dingin.
            Biofilm dianggap sebagai permasalahan dalam hal kesehatan maupun industri makanan karena berperan dalam penyebab penyakit bawaan pangan (19,20). Banyak antibiotik yang efektif untuk menghambat sel bakteri namun hanya sedikityang dapat menghambat proses pembentukan biofilm (22). Sonorensin dapat mereduksi populasi sel bakteri pada saat dorman dengan cara melepaskan ion Mg2+pada membran terluar atau lapisan lipopolisakarida E. coli yang dilakukan oleh EDTA sehingga  terjadi peningkatan permeabilitas sel dan terjadi inaktivasi sel oleh sonorensin melalui membran sitoplasmanya (24). Hal tersebut menunjukkan bahwa resistensi bakteri tidak dapat terbentuk apabila terdapat sonorensin.
                        Pengembangan pengemasan antimikroba merupakan hal yang menjanjikan dalam proses pengemasan makanan karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba dengan cara mengemas makanan menggunakan lapisan antimikroba. Namun, syarat pengemasan tersebut harus terkena langsung dengan bagian permukaan pangan supaya bakteriosin tersebut dapat berdifusi ke dalamnya (13). Pengemasan menggunakan sonorensin dapat menunjukkn efek preservative pada bahan daging dan sayur khususnya tomat yang dapat mengendalilan pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, sehingga memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan produk pangan.

BAB IV
KESIMPULAN

            Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa sonorensin merupakan bakteriosin dari Bacillus sonorensis MT93 yang efektif menghancurkan sel dorman pada S. aureus sehingga berpotensi sebagai terapi antimikroba dan tanpa efek samping terhadap sel mamalia. Sonorensin juga dapat menghambat pembentukan biofilm. Mekanisme kerja sonorensin dengan menghancurkan membran bakteri tidak seperti mekanisme kerja kebanyakan antibiotik yang menarget komponen seluler pada bakteri yang dapat berdampak pada peningkatan resistensi bakteri. Sonorensin juga diprediksikan sebagai bakteriosin pertama dari subfamily heterocycloanthracin yang dapat dijadikan sebagai agen preservasi pangan. Sonorensin terbukti dapat dijadikan sebagai agen anti-biofilm dan biopreservatif pangan yang baik secara alami.

DAFTAR PUSTAKA

Kang, B. K., Cho, M. S., Ahn, T.Y., Lee, E. S. & Park, D. S. 2015. The influence of red pepper       powder on the density of Weisella koreensis during kimchi fermentation. Scientific   Reports.
Moon, Y. J. 2012. Intracellular lipid accumulation inhibitory effect of Weisella koreensis OK1-6     isolated from kimchi on differentiating adipocyte. J. Appl. Microbiol. 113: 652-658.
Choi, H., Kim, Y. W., Hwang, I., Kim J. & Yoon, S. 2012. Evaluation of Leuconostoc citreum HO12 dan    Weisella koreensis HO20 isolated from kimchi as a starter culture for whole wheat      sourdough. Food Chem. 134: 2208-2216.
Cho, K. M. 2009. Novel multiplex PCR for the detection of lactic acid bacteria during kimchi          fermentation. Mol. Cell. Probes. 23: 90-94.
Zgurskaya, H. I., Yamada, Y., Tikhonova, E. B., Ge, Q. & Krishnamoorthy, G. 2009. Structural       and functional diversity of bacterial membrane fusion proteins. Biochim. Biophys. Acta.       1794: 794-807.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNIK PEWARNAAN MOLD DAN YEAST

1.1   Latar Belakang Mikroba terdiri dari bakteri, fungi, protozoa, dan alga. Proses identifikasi untuk jenis-jenis mikroba tersebut cenderung berbeda karena struktur penyusun selnya juga berbeda. Fungi dibagi lagi menjadi mold (kapang) dan yeast (khamir), lichen , dan mikorhiza (Campbell dkk., 2003 ). Mold adalah fungi yang bersifat multisesluler dan memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan bereproduksi cenderung secara aseksual. Perbedaan mold dan yeast adalah jumlah selnya, dimana sel yeast masih termasuk uniseluler sehingga strukturnya lebih sederhana dibandingkan dengan mold . Yeast di alam dapat ditemukan di tempat yang cair dan lembab seperti getah pohon dan jaringan hewan (Campbell dkk., 2003). Identifikasi mold untuk proses klasifikasi dapat dilakukan dengan cara melihat ciri-ciri morfologis struktur dari spora baik aseksual maupun seksualnya, sementara yeast dapat dilakukan dengan cara melihat ciri fisiologis dan adanya reaksi-reaksi biokimia di dalam sel...

IDENTIFIKASI BAKTERI MENGGUNAKAN UJI BIOKIMIA

1.1   Latar Belakang       Bakteri merupakan makhluk hidup, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa bakteri dapat bermetabolisme. Metabolisme yang dilakukan oleh bakteri dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan hidup bakteri dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Metabolisme pada bakteri sama dengan metabolisme pada makhluk hidup tingkat tinggi yang terdiri dari proses anabolisme dan katabolisme (Campbell dkk., 2002).       Metabolisme pada bakteri dapat dilakukan dengan bantuan enzim – enzim tertentu yang diekskresikan oleh suatu jenis bakteri. Namun, tidak semua bakteri dapat melakukan produksi enzim yang jenisnya sama. Hal tersebut terjadi akibat perbedaan habitat beberapa jenis bakteri sehingga otomatis jenis enzim yang dibutuhkan untuk membantu proses metabolismenyapun berbeda bergantung habitat dan fungsinya (Campbell dkk., 2002).       Perbedaan jenis enzim yang diproduksi oleh...

Biologi Sel: Fraksinasi dan Analisa Komponen Seluler

1.1      Dasar Teori Sel meru pakan struktur dasar dari makhluk hidup yang paling kecil tetapi sudah kompleks dan fungsional. Tubuh dari makhluk hidup kecuali virus, memiliki organisasi sel yang terdiri dari banyak sel. Makhluk hidup yang hanya memiliki satu sel disebut sebagai uniseluler, contohnya adalah bakteri. Sementara itu, makhluk hidup yang memiliki banyak sel disebut sebagai makhluk hidup multiseluler(Chauhan,2008). Ti pe dari sel menjadi dasar pembagian sel secara prokariotik dan eukariotik. Prokariotik merupakan sel yang sangat primitif dan memiliki struktur internal yang sederhana. Hal tersebut dikarenakan sel prokariotik yang tidak dilengkapi dengan nukleus atau membran terikat lainnya, struktur internal sel prokariotik hanya terdiri atas dinding sel, membran plasma, sitosol, ruang kosong, ER, ribosom, dan penyimpanan granula. Sementara itu, eukariotik memiliki struktur internal sel yang lebih kompleks. Protoplasma pada sel prokariotik banyak meng...