1.1 Latar Belakang
Mikroba terdiri dari bakteri, fungi, protozoa, dan alga. Proses identifikasi untuk jenis-jenis mikroba tersebut cenderung berbeda karena struktur penyusun selnya juga berbeda. Fungi dibagi lagi menjadi mold (kapang) dan yeast (khamir), lichen, dan mikorhiza (Campbell dkk., 2003 ).
Mold adalah fungi yang bersifat multisesluler dan memiliki kemampuan tumbuh dengan cepat dan bereproduksi cenderung secara aseksual. Perbedaan mold dan yeast adalah jumlah selnya, dimana sel yeast masih termasuk uniseluler sehingga strukturnya lebih sederhana dibandingkan dengan mold. Yeast di alam dapat ditemukan di tempat yang cair dan lembab seperti getah pohon dan jaringan hewan (Campbell dkk., 2003).
Identifikasi mold untuk proses klasifikasi dapat dilakukan dengan cara melihat ciri-ciri morfologis struktur dari spora baik aseksual maupun seksualnya, sementara yeast dapat dilakukan dengan cara melihat ciri fisiologis dan adanya reaksi-reaksi biokimia di dalam selnya yang cenderung mirip dengan identifikasi bakteri (Campbell dkk., 2003). Namun, untuk mempermudah proses identifikasi, dapat digunakan teknik pewarnaan terhadap isolat sehingga mengurangi indeks bias cahaya antara isolat dengan lingkungannya dan dengan objek gelas sehingga mudah diamati struktur selnya menggunakan mikroskop. Oleh karena itu, praktikum ini penting dilakukan untuk mengetahui teknik pewarnaan mold dan yeast yang baik dan benar sehingga mempermudah proses identifikasi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada praktikum ini antara lain:
1. Bagaimana struktur morfologi mold dan yeast?
2. Bagaimana cara menggunakan teknik pewarnaan dengan Lactophenol Cotton Blue pada mold?
3. Bagaimana teknik pewarnaan pada yeast?
4. Bagaimana perbedaan teknik pewarnaan pada mold dan yeast?
1.3 Tujuan
Tujuan pada praktikum ini antara lain:
1. Mengetahui struktur morfologi mold dan yeast.
2. Mengetahui cara menggunakan teknik pewarnaan dengan Lactophenol Cotton Blue pada mold.
3. Mengetahui teknik pewarnaan pada yeast.
4. Mengetahui perbedaan teknik pewarnaan pada mold dan yeast.
1.4 Manfaat
Hasil dari praktikum ini bermanfaat untuk identifikasi spesies mold dan yeast, dimana apabila memungkinkan maka dapat ditemukan spesies baru sehingga menambah tingkat diversitas. Selain itu, hasil juga dapat bermanfaat untuk isolat kultur murni yang dapat disimpan dan digunakan di masa yang akan datang dengan tujuan penelitian sehingga menambah koleksi isolat biakan murni Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.
2.1 Fungi
Fungi merupakan salah satu jenis mikroba yang memiliki habitat di tempat yang lembab. Fungi memiliki dinding sel yang tersusun atas kitin. Proses reproduksi yang dimiliki oleh fungi dapat terjadi seksual dan aseksual. Fungi memiliki badan berfilamen pada fase pertumbuhannya yang biasanya dikenal sebagai hifa. Secara umum, berdasarkan bentuk sporanya fungi dikelompokkan seperti berikut (Gillen, 2007):
1. Zygomycota: Proses reproduksi secara aseksual dengan spora (sporangiospore) yang dibentuk di dalam sporangia. Secara seksual mengasilkan zygospore. Miselium bersekat. Contohnya, Rhizopus dan mold pada roti.
2. Ascomycota: Kebanyakan reproduksi secara aseksual dengan spora (conidia), tetapi semuanya dapat menghasilkan spora seksual ascospore di dalam askus. Contohnya, jamur berongga dan yeast.
3. Basidiomycota: Spora seksual diproduksi di tempat khusus yang disebut basidia. Contohnya, jamur yang memiliki gill.
4. Deuteromycota: Tidak memiliki spora seksual tetapi spora aseksualnya sangat beragam salah satunya blastospore. Biasa disebut fungi tidak sempurna. Contohnya, Aspergillus.
5. Chytridiomycota: Tidak memiliki spora seksual. Reproduksi hanya melalui aseksual dengan zoospore di dalam spherical cell. Zigot yang dihasilkan diubah menjadi resting spore. Contohnya, Chytridium.
Pertumbuhan dari fungi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu (Pommerville, 2014 ):
1. Oksigen: Kebanyakan fungi merupakan organism aerobik yang membutuhkan oksigen untuk bermetabolisme. Namun, organisme yang bersifat nonaerobik juga akan menjadikan kadar oksigen yang tinggi sebagai racun bagi tubuhnya.
2. Suhu: Secara umum, suhu optimum untuk pertumbuhan dari fungi adalah 23OC yang mendekati suhu ruagan. Namun, pada fungi pathogen, kebanyakan memiliki suhu optimal 37OC sesuai dengan suhu tubuh manusia. Bahkan, organisme jenis psychrophilic dapat hidup di dalam suhu yang rendah 5OC.
3. pH: Kebanyakan fungi dapat hidup pada pH yang asam yaitu berkisar antara 5 dan 6.
2.2 Spora
Reproduksi fungi dengan menggunakan spora termasuk dalam reproduksi aseksual. Spora pada umumnya dikelompokkan menjadi 5 jenis yaitu (Gillen., 2007):
1. Blastospore: Tunas dibentuk melalui proses sprouting dari bagian permukaan sel induknya. Contohnya, Crytococcus.
2. Chlamydospore: Berbentuk membulat dan berukuran besar dengan dinding yang kasar, dihasilkan dalam bentuk dorman ketika lingkungan tidak mendukung untuk pertumbuhannya. Contohnya, Aspergillus niger.
3. Arthrospore: Terdapat segmen yang membatasi langsung dari hifa yang tidak terdiferensiasi, bentuknya bulat atau silinder. Contohnya, Coccidioides.
4. Sporangiospore: Spora diproduksi di dalam sporangium. Contohnya, Mucor.
Conidia: Spora aseksual yang dibentuk diluar batas membran, bentuknya seperti debu dan tidak terlindungi. Kelompok ini dibagi lagi berdasarkan ukurannya yaitu microconidia dan macroconidia.
2.2 Mold (Kapang)
Mold merupakan salah satu jenis fungi yang berbentuk multiseluler. Struktur morfologinya terdiri dari stolon, sporangia atau kantong spora dan miselium yang dapat tumbuh sebagai saprobe atau parasit pada substrat yang beragam. Habitat mold sama halnya dengan habitat fungi pada umunya yaitu di tempat yang lembab. Mold dapat bereproduksi secara aseksual yaitu dengan cara memproduksi spora. Spora merupakan sel tunggal yang dapat tumbuh menjadi fungi dewasa ketika kondisi sangat memungkinkan seperti lingkungan yang lembab (MacKenzie dkk., 2004).
2.3 Yeast (Khamir)
Yeast adalah fungi yang bersifat uniseluler yang bereproduksi dengan cara aseksual melalui pelepasan sel tunas melalui sel induknya. Namun, ada beberapa jenis yeast yang bereproduksi secara seksual dengan cara membentuk ascus atau basidia. Berbeda dengan mold, yeast tidak memiliki miselium berfilamen seperti pada mold karena strukturnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan mold (Campbell dkk., 2003).
2.4 Pewarnaan Gram pada Fungi
Proses pewarnaan gram pada fungi dapat digunakan untuk mendeteksi komposisi penyusun fungi berdasarkan reaksi gram yang terjadi dalam bentuk perbedaan warna. Menurut pewarnaan gram, fungi yang termasuk dalam yeast termasuk dalam gram positif, sementara fungi yang memiliki hifa atau mold termasuk dalam gram negatif. Hal tersebut dapat terjadi akibat perbedaan ketebalan dinding sel kedua jenis fungi. Dinding sel yeast yang tebal mengikat erat pewarna crystal violet - iodine dan menahannya agar tidak dapat keluar pada saat proses decolorization Karena waktu yang digunakan decolorization tidak cukup lama untuk memberikan crystal violet - iodine kesempatan keluar dari dinding sel yang tebal. Hal tersebut menyebabkan yeast akan terwarnai menjadi ungu setelah pewarnaan gram dan dapat dikatakan sebagai gram positif. Namun, hal tersebut belum bisa dipastikan karena tidak ada peran reaksi kimiawi yang terjadi di dalam sel yeast (Mohan, 2009).
Hifa pada mold memiliki dinding sel yang lebih tebal dibandingkan dengan yeast, namun dalam pewarnaan gram, mold disebut sebagai gram negative karena terwarnai oleh safranin. Hal tersebut disebabkan karena pewarna utama gram yaitu crystal violet tidak dapat menembus dinding sel mold sehingga pewarna yang masuk hanya iodine. Padahal, iodine tidak cukup kuat tanpa pewarna crystal violet. Pada proses decolorization, larutan decolorization dapat merusak dinding sel yang tebal pada mold sehingga safranin dapat masuk dan hasilnya hifa akan berwarna merah muda dan disebut sebagai gram positif (Mohan, 2009).
2.4 Proses Pewarnaan Mold dengan Lactophenol Cotton Blue
Proses identifikasi mold dapat dilakukan dengan cara kombinasi dari makroskopis, mikroskopis, dan analisis biokimiawi. Secara makroskopis, identifikasi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan wilayah fungi, sementara secara mikroskopis untuk mengetahui tipe dan warna dari hifa, spora. Proses pewarnaan dibutuhkan untuk mempermudah identifikasi mold secara mikroskopis (Gupta dan Tuohy, 2013).
Lactophenol cotton blue merupakan zat pewarna yang sering digunakan untuk mewarnai preparat semi-permanen secara mikroskopis pada fungi. Zat pewarna tersebut akan mewarnai bagian sitoplasma dan menyebabkan bagian lingkungan sitoplasma berwarna biru terang sehingga dinding hifa dapat terlihat dengan jelas. Phenol sebagai fungisida, lactic acid sebagai clearing agent, cotton blue sebagai pewarna sitoplasma dari fungi, glycerine yang membuat preparat bersifat semi-permanen. Namun, untuk membuat preparat permanen dapat dilakukan dengan memberikan polyvinyl alcohol dalam glycerin ke dalam media mounting (Aneja, 2003). Selain itu, pewarnaan pada fungi secara umum dikelompokkan dalam dua macam yaitu secara sederhana dan spesifik sebagai berikut (Mohan, 2009):
1. Pewarnaan secara sederhana:
a. Gram
b. KOH
c. Carcoflour White (CW)
d. Modified Kinyoum (MK)
e. Ziehl-Neelsen (ZN)
f. Giemsa
2. Pewarnaan secara spesifik
a. Hematoxylin and Eosin (HE)
b. Gomori Methanamin Silver (GMS)
c. Fontana Masson (FM)
d. Periodic Acid-Schiff (PAS)
e. Mucicarmine (MC)
2.5 Pewarnaan Yeast dengan Methylene Blue
Pewarnaan yeast dapat dilakukan dengan metode pewarnaan sederhana, salah satunya menggunakan pewarna methylene blue. Pewarna tersebut akan menghasilkan warna biru pucat apabila digunakan konsentrasi yang rendah 0,1 – 0,2 % dalam bentuk cair. Konsentrasi tersebut sudah dapat mewarnai struktur internal dari sel yeast dengan baik, namun sebelumnya harus digunakan dalam larutan buffer Fink dan Kuhles untuk membedakan sel yang mati dan masih hidup, selain methylene blue juga dapat digunakan pewarna lain yaitu crystal violet, tryphan blue dan lainnya (Delfini dan Formica, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Busen, Prakash Singh. 2014. Labroratory Protocols in Applied Life Sciences. CRC Press: Boca Raton.
Campbell, N. A., J. B. Reece., dan L. G. Mitchell. 2003. Biologi. Jilid 2.
Edisi 5. Penerjemah, Manalu. Erlangga: Jakarta.
Delfini, C., dan J. V. Formica. 2001. Wine Microbiology: Science and
Technology. Marcel Dekker, Inc: New York.
Gillen, Alan L. 2007. The Genesis of Germs: The Origin of Disease and
the Coming Plagues. Master Books: USA.
Gupta, V. K., dan M. G. Tuohy. 2013. Labroratory Protocols in Fungal
Biology: Current Methods in Fungal Biology. Springer: New
York.
MacKenzie, L., D. K. Arwine, E. J. Shewan, M. J. McHugh. 2004.
Biology: A Search for Order in Complexity. Christian Liberty
Press: Arlington Heights, Illinois.
Mohan, S. K. 2009. Gram Stain. AuthorHouse: Bloomington.
Pommerville, Jeffrey C. 2014. Fundamentals of Microbiology: Body
Systems Edition. Jones & Bartlett Learning: Burlington, MA.
Reece, J. B., Meyers, Urry, Cain, Wasserman, Minorsky, Jackson, dan
Cooke. 2011. Campbell Biology. Edisi 9. Versi Australia.
Pearson: Australia.
Komentar