1. Definisi Penyakit Malaria
Malaria merupakan penyakit infeksi yang menyebar secara luas di dunia dan dapat menyebabkan kasus kematian sebanyak satu juta setiap tahunnya (Umeda dkk., 2011). Malaria yang menginfeksi manusia disebabkan oleh adanya parasit intraseluler dari salah satu spesies Plasmodium yaitu P. vivax, P. ovale, dan P. falciparum. Salah satu spesies Plasmodium yang paling terkenal adalah Plasmodium falciparm yang dikenal sangat resisten terdahap berbagai macam obat antimalaria seperti chloroquine, amodiaquine, dan sulphadoxine-pyrimethamine. Sifat dari Plasmodium falciparum yang resisten terhadap kebanyakan antimalaria tersebut membuat perlunya dilakukan peneman-penemuan antimalaria terbaru yang dapat mengatasi Plasmodium falciparum (Umeda dkk., 2011).
Parasit Plasmodium yang merupakan agen penyebab terjadinya penyakit malaria merupakan protozoa obligat intraselular yang dapat ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles betina pada saat nyamuk tersebut menghisap darah manusia. Siklus hidup Plasmodium di dalam tubuh manusia dan di dalam tubuh nyamuk sangat berbeda. Salah satu siklus hidup Plasmodium di dalam tubuh manusia adalah fase eritrosit yang diawali dengan infeksi merozoit ke dalam sel darah merah, sehingga terjadi lisis pada sel darah merah pada saat parasit tersebut berkembang biak di dalamnya. Sel darah merah yang terinfeksi kemudian akan melepaskan ribuan merozoit yang dapat berpotensi menginfeksi sel darah merah yang lainnya (Recuenco dkk., 2014).
2. Mekanisme Infeksi atau Transmisi Malaria
Sporozoit dari Plasmodium diinjeksikan oleh vektor berupa nyamuk Anopheles yang terinfeksi, dimana sporozoit tersebut selanjutnya akan bermigrasi ke dalam liver untuk mengalami fase hepatik dengan cara menginfeksi sel hepatosit untuk berkembang biak dan memisah menjadi skizon yang mengandung ribuan merozoit hati (Soulard dkk., 2015). Selanjutnya, merozoit akan dilepaskan ke dalam darah dan akan mengalami fase eritrosit dengan menginfeksi sel darah merah (RBCs) sehingga terbentuk gametosit yang selanjutnya akan menyebabkan lisis pada sel darah merah tersebut. Sel gametosit yang dilepaskan akibat sel darah merah lisis selanjutnya akan ditransmisikan kembali pada nyamuk yang menghisap darah yang terinfeksi dari manusia (Soulard dkk., 2015). Lisisnya sel darah merah akibat infeksi Plasmodium tersebut dapat menyebabkan gejala pada pasien berupa demam, sakit di bagian perut, anemia, dan melemah (Recuenco dkk., 2014).
Invasi atau infeksi pada eritrosit oleh Plasmodium dalam bentuk merozoit merupakan suatu peristiwa yang kompleks karena terjadi interaksi antara parasit dengan protein sel inangnya. Pada saat merozoit tersebut pertama kali melekatkan diri pada sel darah merah, maka dapat terjadi kemungkinan akan mempengaruhi protein yang terdapat pada permukaan merozoit. Selama proses pengikatan dengan sel darah merah, merozoit tersebut bergeak memutar atau menganti orientasinya supaya bagian kompleks apikal dapat berhubungan langsung dengan permukaan eritrosit. Pada saat terjadinya interaksi tersebut, micronemes mensekresikan protein invasi seperti apical membrane antigen 1 (AMA1) dan erythrocyte binding-like proteins (EBLs) dan rhoptries mensekresikan reticulocyte binding-like proteins (RBLs) and rhoptry neck proteins (RONs). Protein antigen AMA1 umumnya dijadikan sebagai vaksin multi komponen terhadap malaria apabila berinteraksi dengan RONs untuk membentuk kompleks (Recuenco dkk., 2014).
Erythrocyte binding-like proteins (EBLs) dan RBLs akan mengikat reseptor pada sel darah merah dan akan terlibat dalam pemilihan sel inang dan akan menjadi jalur invasi alternatif dari merozoit Plasmodium. Merozoit akan masuk ke dalam sel darah merah dengan bantuan dorongan oleh kompleks actin-myosin motor dan secara simultan akan menghilangkan lapisan protein di permukaan sel inang dan membuat sel parasit dapat beradaptasi dengan lingkungan intraselulernya yang baru (Recuenco dk., 2014).
Plasmodium pada fase hepatik umumnya hanya terbatas selama 5-10 hari. Fase sebelum eritrosit dinyatakan sebagai fase yang ideal untuk dijadikan target untuk dieliminasi. Hal tersebut terjadi karena, selama proses sebelum fase eritrosit tersebut, jumlah parasit dalam tubuh masih sangat rendah dan hanya berkembang pada waktu yang cukup pendek yaitu 5-14 hari (Soulard dkk., 2015).
3. Cara Penanganan Malaria
Sulfated glycosaminoglycans (GAGs) seperti heparin, dextran sulfat, fucoidan, dan fucosylated chondroitin sulfate dapat digunakan untuk menghambat proses invasi dari merozoit ke dalam eritrosit secara in vitro. Heparin bekerja dengan cara menarget beberapa protein pada merozoit termasuk protein untuk proses invasi seperti merozoite surface protein 1 (MSP1) dan erythrocyte binding antigen 140 (EBA-140) (Recuenco dkk., 2014). Tidak seperti antimalaria yang lain, heparin dapat menghambat proses invasi pada sel darah merah menggunakan merozoit Plasmodium (Recuenco dkk., 2014). MSP1 merupakan kandidat untuk vaksin malaria, dan EBA-140 merupakan ligan yang akan berinteraksi dengan reseptor glycophorin C pada permukaan eritrosit (Recuenco dkk., 2014). Hal tersebut menunjukkan bagaimana sel parasit melakukan invasi pada permukaan sel eritrosit proteoglikan seperti sulfat heparin dan dapat juga menjelaskan mekansime bagaimana polisakarida sulfat dapat menghambat proses invasi dari parasit ke dalam sel darah merah. Heparin merupakan antikoagulan sehingga tidak bisa diguakan untuk pengobatan malaria pada manusia (Recuenco dkk., 2014)
Penelitian terbaru menemukan adanya Gellan gum (GG) yang merupakan polisakarida dari bakteri Sphingomonas atau Pseudomonas elodea (ATCC 31461). Gellan Gum merupakan gel yang bersifat thermoreversibel dengan tingginya kekuatan dan stabilitas gel membuat gel tersebut sangat berguna dalam pengobatan, tambahan pangan, dan media mikrobiologis. Hasil uji menunjukkan bahwa bahan dasar GG dapat dimodifikasi dengan penambahan turunan dari sulfat (gellan sulfate) yang mempunyai sifat antikoagulan seperti pada heparin dengan pengecualian satu turunan (GS1) yang mempunyai rasio sulfonasi terendah dan paling sedikit aktivitas antikoagulan sehingga dapat digunakan untuk mengobati penyakit malaria terutama dengan mekanisme kerja menghambat invasi merozoit ke dalam sel darah merah seperti mekanisme kerja heparin (Recuenco dkk., 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Recuenco, F. C., K. Kobayashi, A. Ishiwa, Y. Enomoto-Rogers, N. G. V. Fundadar, T. Sugi, H. Takemae, T. Iwanaga, F. Murakoshi, H. Gong, A. Inomata, T. Horimoto, T. Iwata dan K. Kato. 2014 Gellan sulfate inhibits Plasmodium falciparum growth and invasion of red blood cells in vitro. Scientific Reports, 4 : 4723.
Soulard, V., H. Bosson-Vanga, A. Lorthiois, C. Roucher, J. F. Franetich, G. Zanghi, M. Bordessoulles, M. Tefit, M. Thellier, S. Morosan, G. Le Naour, F. Capron, H. Suemizu, G. Snounou, A. Moreno-Sabater dan D. Mazier. 2015. Plasmodium falciparum full life cycle and Plasmodium ovale liver stages in humanized mice. Nature Communications, 6 : 7690.
Umeda, T., N. Tanaka, Y. usakabe, M. Nakanishi, Y. Kitade dan K. T. Nakamura. 2011. Molecular basis of fosmidomycin’s action on the human malaria parasite Plasmodium falciparum. Scientific Reports, 1 : 9.
Komentar