1. Definisi Biofertilizer
Biofertilizer atau yang umumnya disebut sebagai microbial inoculants merupakan sejenis pupuk yang di dalamnya mengandung sel mikroba hidup yang efisien dalam strain yang terdiri dari pemfiksasi nitrogen, pelarut fosfat atau mikroba selulolitik yang dapat diaplikasikan pada pembibitan tanaman, tanah atau area kompos yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroba di dalam tempat tersebut (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Selain itu, biofertilizer juga umumnya digunakan untuk mempercepat proses aliran nutrisi di dalam tanah sehingga dapat diasimilasikan ke dalam tanaman . Penggunaan biofertilizer dalam skala besar umumnya akan dilakukan untuk membantu menyediakan sumber organik untuk pertumbuhan tanaman baik melalui absorbsi langsung dari media tanam, maupun dari hasil asosiasi atau interaksi dengan mikroba biofertilizer (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Organisme yang umumnya digunakan sebagai komponen dalam pembuatan biofertilizer adalah pemfiksasi nitrogen (N-fixer), pelarut kalium (K-solubilizer) dan pelarut fosfat (P-solubilizer), atau bisa juga dengan menggunakan kombinasi kapang dan fungi. Kebanyakan dari bakteri yang digunakan sebagai biofertilizer tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sistem perakaran pada tanaman. Contohnya, Rhizobium mempunya interaksi simbiosis dengan akar kacang-kacangan dan Rhizobacteria yang umumnya memiliki habitat alami pada permukaan akar atau pada bagian tanah rizosfer (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Mikroba sebagai biofertilizer yang bekerja dengan cara melarutkan fosfat umumnya merupakan bakteri dan fungi yang dapat membuat fosfor tidak terlarut menjadi tersedia untuk tanaman (Gupta, 2004). Beberapa bakteri tanah dan sedikit dari spesies fungi memiliki kemampuan untuk membawa fosfor yang tidak terlarut tersebut di dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk yang bisa terlarut dengan cara mensekresikan asam-asam organik (Gupta, 2004). Berikut adalah jenis-jenis dari biofertilizer secara umum (Muraleedharan dkk., 2010):
1. Biofertilizer pemfiksasi nitrogen, contohnya Rhizobium, Bradyrhizobium,
Azospirillum dan Azotobacter
2. Phosphorous solubilizing biofertilizers (PSB), contohnya Bacillus, Pseudomonas dan Aspergillus
3. Phosphate mobilizing biofertilizer, contohnya Mycorrhiza
4. Plant Growth Promoting biofertilizer, contohnya Pseudomonas sp.
Biofertilizer dapat bekerja dengan cara umum yang spesifik tergantung dengan mikroba yang berperan di dalamnya yaitu (Muraleedharan dkk., 2010):
1. Biofertilizers akan mengikat nitrogen dari atmosfer di dalam tanah dan nodul akar
dari tanaman kacang-kacangan dan membuat nitrogen tersebut tersedia
2. Fosfat dalam bentuk terlarut maupun tidak terlarut seperti fosfat trikalsium, besi,
dan aluminium menjadi bentuk yang tersedia dan dapat digunakan oleh tanaman
3. Mengambil fosfat dari lapisan tanah
4. Memproduksi hormon dan anti metabolit yang dapat meningkatkan pertumbuhan
akar tanaman
5. Melakukan dekomposisi bahan organik dan membantu proses mineralisasi dalam
tanah
6. Apabila diaplikasi pada bibit maupun tanah, biofertilizer dapat meningkatkan
ketersediaan nutrisi hingga mencapai 10 sampai 25 % tanpa menyebabkan efek
samping terhadap tanah maupun lingkungannya.
2. Biofertilizer Pemfiksasi Nitrogen
Mikroba pemfiksasi nitrogen merupakan jenis biofertilizer yang dapat melakukan konversi dalam satu arah untuk bisa merubah nitrogen elemental menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman (Gothwal dkk., 2007). Perubahan nitrogen tersebut adalah dari N2 di atmosfer menjadi komponen organik. Mikroba pemfiksasi nitrogen tersebut ditambahkan atau diinokulasikan dengan kondisi sel hidup dan umumnya dilakukan komposit atau pencampuran berbagai macam mikroba yang memiliki kesamaan dalam kemampuannya memfiksasi nitrogen. Contohnya adalah bakteri yang hidup bebas dari kelompok Azotobacter dan Azospirillium dan alga hijau biru serta simbion seperti Rhizobium, Frankia dan Azolla (Gupta, 2004).
Inokulasi dari Rhizobium umumnya dikenal sebagai bagian dari praktik agronomik untuk memastikan kebutuhan akan nitrogen pada tanaman kacang-kacangan dapat terpenuhi. Pada bagian nodul akar, kadar O2 diregulasi atau diatur oleh hemoglobin spesial yang disebut leg-hemoglobin. Hemoglobin tersebut merupakan protein globin yang dikode oleh gen pada tanaman, sedangkan kofaktor heme dibentuk dengan adanya simbiosis dari bakteri. Hemoglobin tersebut hanya dapat diproduksi apabila tanaman tersebut telah terinfeksi dengan Rhizobium. Sel-sel pada akar tanaman dapat merubah gula menjadi asam organik yang akan diberikan pada bekteriod, sedangkan tanaman tersebut selanjutnya akan mendapat asam amino lebih dari bentuk ammonia (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
3. Biofertilizer Pelarut Fosfat
Pengikatan fosfor di dalam tanah dapat dilakukan dengan cara melarutkannya oleh bantuan phosphate solubilizing bacteria (PSB) yang mempunyai kemampuan untuk mengubah fosfor dalam bentuk anorganik dan tidak tersedia menjadi bentuk yang terlarut yaitu HPO4 2- menjadi H2PO4 – (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Proses perubahan tersebut dilakukan dengan cara melalui proses yang bertahap yakni produksi asam organik, chelation, dan reaksi pertukaran ion sehingga fosfor tersebut menjadi tersedia untuk tanaman. Mikroba yang dapat digunakan sebagai biofertilizer pelarut fosfat tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan sumber fosfat yang tersedia untuk tanaman, tetapi juga membantu dalam mobilisasi fosfor tidak terlarut dalam tanah menuju tempat dimana biofertilizer tersebut ditambahkan (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Penggunaan kelompok bakteri sebagai pelarut fosfat lebih efektif dibandingkan penggunaan fungi, dimana bakteri dapat berpengaruh sebesar 1 - 50 % sedangkan fungi hanya mencapai 0,1 – 0,5 %. Mikroba yang termasuk dalam agen biofertilizer pelarut fosfat adalah mikoriza fungi, strain dari ectorhizospheric dari Pseudomonas dan Bacilli, serta rhizobia endosimbiosis juga dinyatakan efektif sebagai pelarut fosfat (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Strain dari bakteri genus Pseudomonas, Bacillus, Rhizobium, dan Enterobacter serta Penicillium dan Aspergillus merupakan pelarut fosfat terbaik (Whitelaw, 2000).
Beberapa spesies bakteri dapat melakukan mineralisasi dan solubilisasi terhadap fosfor organik maupun anorganik secara berurutan. Aktivitas pelarutan fosfat dapat ditentukan dengan melihat kemampuan mikroba dalam melepaskan metabolit seperti asam organik yang akan melalui golongan hydroxyl dan carboxyl yang merupakan kation yang berikatan dengan fosfat yang selanjutnya akan diubah menjadi bentuk yang terlarut (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Mikroba pelarut fosfat dapat mensekresikan asam organik dan enzim-enzim yang berfungsi dalam merubah fosfat tidak terlarut menjadi bentuk fosfat terlarut yang dapat digunakan oleh tanaman. Fosfat anorganik dijadikan bentuk terlarut dengan cara reaksi yang terjadi antara asam organik dan asam anorganik yang disekresikan oleh mikroba pelarut fosfat dari golongan asam hydroxyl dan carboxyl pada kation Al, Fe, Ca dan menurunkan pH pada tanah yang basa. Mikroba pelarut fosfat akan melarutkan fosfat melalui produksi dari asam organik dengan berat molekul rendah terutama asam glukonik dan ketoglukonik sehingga dapat menurunkan pH dari rizosfer yang dikarenakan produksi proton atau pelepasan bikarbonat dan pertukaran gas O2/CO2, kemampuan pelarutan fosfat oleh mikroba pelarut fosfat memiliki korelasi langsung dengan pH dari media (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Skema dari mobilisasi dan immobilisasi dari fosfor tanah oleh bakteri dapat dilihat pada gambar 1.
4. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)
Kelompok dari bakteri rizosfer atau disebut dengan rhizobacteria yang dapat memberikan banyak keuntungan terhadap pertumbuhan tanaman yang berkaitan dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Contoh dari Rhizobacteria adalah dari genus Bacillus, Pseudomonas, Rhizobium, Bradyrhizobium, Erwinia, Enterobacter, Amorpho sporangium, Cellulomonas, Flavobacterium, Streptomyces, and Xanthomonas (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Interaksi mikroba dengan tanaman diikuti oleh adanya kompetisi untuk membentuk koloni pada tanaman. Sel bakteri tunggal dapat melakukan pelekatan pada permukaan tanaman dan selanjutnya melakukan pembelahan sel dan proliferasi untuk membentuk agregat yang terdiri dari makro koloni atau biofilm (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Akar tanaman akan mengawali interaksi dengan mikroba tanah dengan cara memproduksi sinyal yang dapat menarik mikroba tersebut sehingga mikroba akan mulai membentuk sinyal untuk membentuk koloni pada tanaman tersebut (Berg, 2009). Rhizobacteria atau PGPR akan sampai pada permukaan akar dengan cara melakukan pergerakan yang dibantu oleh flagella dan diarahkan oleh adanya respon kemotaktik. Hal tersebut menyebabkan PGPR akan berkompetisi untuk dapat beradaptasi pada perubahan kondisi atau pada spesies tanaman sehingga akan didapatkan jenis PGPR yang memiliki kelebihan spesifik terhadap suatu lingkungan pertumbuhannya yang baru (Nihorimbere dkk., 2011).
4. Pembuatan Biofertilizer
Pembuatan dari biofertilizer harus memperhatikan profil pertumbuhan dari mikroba-mikroba yang digunakan, jenis mikroba, kondisi optimum pertumbuhan mikroba tersebut, serta formulasi dari inokulum (Mohammadi dan Sohrabi, 2012). Secara umum terdapat enam tahapan dalam pembuatan biofertilizer yaitu secara garis besar adalah pemilihan organisme aktif, isolasi dan seleksi mikroba target, seleksi penggunaan metode dan bahan tambahan yang digunakan, seleksi dari metode propagasi, uji prototipe dan uji dalam skala besar. Contohnya, harus memilih bakteri asam organik atau pemfiksasi nitrogen atau mengkombinasikan dengan mikroba jenis lain, isolasi dilakukan untuk memisahkan mikroba target dari habitatnya yang umumnya diisolasi dari akar tanaman (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Isolat mikroba yang sudah didapatkan selanjutnya ditumbuhkan pada cawan petri dan akan dilakukan skrinning isolat yang terbaik. Pemberian bahan tambahan sangat menentukan bentuk akhir dari biofertilizer, misalnya apabila dibuat dalam bentuk bubuk, maka bahan tambahan yang akan ditambahkan umumnya adalah tepung tapioka untuk menghasilkan hasil yang baik. Selanjutnya adalah menentukan metode propagasi terutama untuk menemukan kondisi optimum dari syarat tumbuh mikroba yang digunakan sebelum dilakukan uji dan pembuatan prototipe dan paling akhir adalah diuji dalam skala yang besar pada lingkungan yang berbeda untuk tujuan menganalisis efektivitasnya dan keterbatasannya pada suatu lingkungan tertentu (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
Biofertilizer biasanya dijadikan dalam bentuk inokulan pada bahan tambahan dan hanya mikroba yang dirasa paling efektif saja yang ditambahkan sebagai inokulum. Beberapa jenis dari bahan tambahan pada biofertilizer tersebut dapat digunakan untuk biofertilizer yang bisa diaplikasikan pada pembibitan maupun diinokulasikan pada tanah. Bahan tambahan yang digunakan sebagai campuran yang mengandung mikroba harus memenuhi syarat yaitu memiliki harga yang murah dan banyak ketersediaannya di alam. Syarat lain yang harus dimiliki oleh bahan tambahan adalah harus memiliki kapasitas penyerap kelembaban dan adhesi terhadap bibit yang sangat baik apabila akan diinokulasikan pada bibit. Syarat yang terakhir tetapi juga sangat penting untuk dimiliki oleh bahan tambahan tersebut adalah harus memiliki kapasitas buffer pH yang baik sehingga dapat dengan mudah diproses dan disterilisasi menggunakan autoclave maupun dengan radiasi menggunakan sinar gamma (Mohammadi dan Sohrabi, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Berg, G. 2009. Plant-microbe interactions promoting plant growth and health: perspective for
controlled use of microorganisms in agriculture. Appl. Microbiol Biotech. 84: 11-18.
Gothwal, R. K., Nigam V. K., Mohan M. K., Sasmal D. dan Ghosh P. 2007. Screening of nitrogen fixers from rhizospheric bacterial isolates associated with important deserts plants. Appl. Ecol. Environ. Res. 6(2): 101-109.
Gupta, A. K. 2004. The complete technology boon on biofertilizers and organic farming. National Institute of Industrial Research Press. India.
Mohammadi, K. dan Sohrabi Y. 2012. Bacterial biofertilizers for sustainable crop production: A Review. ARPN JABS. 7(5): 307-316.
Muraleedharan, H., Seshadri, dan Perumal K. 2010. Biofertilizer (Phosphobacteria). Shri AMM Murugappa Chettiar Research Centre. Taramani, Chennai, India.
Nihorimbere, V., Ongena M.,Smargiassi M. dan Thonart P. 2011. Beneficial effect of rhizosphere microbial community for plant growth and health. Biotechnol Agron Soc Environ. 15(2): 327-337.
Whitelaw, M. A. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate solubilizing fungi. Adv Agron. 69: 99-151
Komentar